Jumat, 28 Juni 2013

Han's Made |first and last|

Gelap. Aku mulai merasa khawatir. Ini sudah malam dan rumahku tak menunjukkan adanya tanda keberadaan seseorang.
“Dong Jo-ssi!” aku mulai memanggil nama seseorang yang satu tahun belakangan ini tinggal bersamaku.
“Dong Jo-ssi!” panggilku sekali lagi.
Sekarang aku benar-benar merasa takut. Dengan langkah hati-hati aku meraba tembok untuk mencari saklar lampu.
Belum sempat aku menyalakan lampu, seberkas cahaya orange berada tepat di hadapanku.
“Dong Jo-a,” gumamku melihat wajahnya di balik cahaya lilin.
“Happy Birthday!” ujarnya singkat dengan senyuman lembutnya.
Aku mengangkat sebelah alisku. Ini bukan hari ulang tahunku. Aku menunduk melihat tulisan yang terukir di atas kue tart yang Dong Jo bawa. Setelah membacanya, aku melihat Dong Jo yang kini tersenyum padaku. Apa-apaan orang ini? Haruskah dia melakukannya? Kami bahkan tidak pernah menjadi pasangan yang terlihat bahagia jika bukan di depan keluarga kami dan di hadapan rekan kerja.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku malas dengan masih berdiri di tempat yang sama.
“Ini hari pernikahan kita kan? Kau lupa, Changi-a?”
Aku semakin menautkan kedua alisku mendengar nada bicaranya yang seakan kecewa aku melupakan hari ini. Bukankah ini tidak penting? Ada apa dengan pria ini?
Aku tersenyum.
“Mianhae, aku terlalu lelah sampai melupakan hari ini.”
Dia mendekat, “Kita tiup sama-sama.”
Tanpa banyak berpikir lagi, aku menurutinya. Aku harap, kehidupanku jadi lebih baik lagi. Setelah melakukan make a wish kami meniup lilin angka satu itu. Dan mendadak ruangan menjadi terang, sorakan riuh, tawa dan ucapan selamat memenuhi ruang tamu kami.
Terkejut? Tentu saja aku terkejut. Di hadapanku sudah ada keluargaku dan keluarga Dong Jo. Mereka tertawa bahagia dan memelukku satu persatu. Tentu saja aku harus terlihat bahagia. Tapi ini benar-benar membutaku terkejut. Aku melirik Dong Jo yang sedang berbicara dengan ayahku. Dia hanya tersenyum saat aku meliriknya.
“Jae In-a, apa kau selalu pulang selarut ini?” tanya ibu Dong Jo setelah melepaskan pelukannya.
“Ne, eommonin. Tapi Dong Jo bisa pulang lebih malam lagi,” jawabku membuat semua orang tertawa dan memarahi Dong Jo.
“Anni, saat hari libur kami selalu bersama. Benarkan, Changi?” kilah Dong Jo yang kini merangkul pinggangku. Aku hanya tertawa.
“Lalu kapan kalian akan memberi kami Han kecil?”
“Mwo?” pekik kamu berdua hampir bersamaan. Melihat reaksi kamu, Ibu tentu saja heran.
“Wae? Apa itu belum kalian rencanakan?”
Kini semua orang diam. Dong Jo, katakanlah sesuatu. Bukannya menjawab dia malah tersenyum dan mendekatkanku dengannya.
“Kalau begitu, beri kami kesempatan berdua.”
Mwo??
Semua orang tertawa, kecuali aku yang menatapnya penuh tanya. Aku tidak melihat kebohongan di matanya seperti yang selalu kami lakukan. Apa ini?
“Kau mengusir kami, Dong Jo-a?!” kini ayah mertuaku yang bertanya. Dan Dong Jo hanya mengangguk.
“Aigoo, jongmalyeo!!!”
Pembicaraan semakin mengarah pada hal-hal pribadi, dan itu membuat kepalaku sakit. Apa yang kau lakukan, Bodoh?!
...
Ada apa dengan pria itu? Aku masih saja memikirkan perkataannya. Kami sudah sering melakukan sandiwara seperti ini. tapi tadi, dia tidak terlihat seperti berbohong. Tidak, aku tidak boleh memikirkan hal yang bukan-bukan. Aku menatap langit yang semakin gelap. Angin dingin menyapu wajahku. Aku tengadahkan tanganku dan membiarkan titik-titik air itu jatuh di telapak tanganku. Hujan. Saat merasa hujan semakin lebat, aku tidak lantas berdiri dan meninggalkan tempat ini. kubiarkan butir-butir air itu menyentuh kulitku dan membasahi tubuhku. Tak peduli dengan orang-orang yang sibuk menyelamatkan diri. Aku menyukai hujan. Kupejamkan mataku, merasakan dingin setiap kali air menyentuh tubuhku. Ah, berhenti? Aku menatap ke depan. Masih hujan.
“Apa kau cari mati?”
Aku menoleh dengan cepat mendengar suara seseorang yang sangat kukenal. Dong Jo. Pria itu sedang berdiri memayungiku, menatapku dengan napas tersenggal. Apa dia berlari sampai sini?
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku membuatnya menatapku heran.
“Ayo pulang! Hujan bisa membunuhmu.”
Dia menarikku berdiri dan mengenakan mantelnya padaku.
“Dari mana kau tahu aku di sini?”
Dia hanya diam dan terus berjalan menuntunku yang kini sudah menggigil kedinginan. Apa sifat aslimu sudah kembali lagi, Dong Jo-ssi?
...
“Ini minumlah.”
Aku menerima cokelat panas buatannya. Kini aku sudah berbaring di ranjangku dengan selimut tebal membungkus tubuhku. Dia menatapku datar.
“Apa?”
Dengan cepat dia memalingkan wajahnya dari pengelihatanku.
“Mau kemana?” tanyaku menahan langkahnya yang sudah mendekati pintu.
“Kau pasti lapar, akan kubuatkan sesuatu.” Dia sudah menghilang sebelum aku mencegahnya.
Han Dong Jo, sebenarnya apa yang ingin kau lakukan untukku. Saat bersandiwara kau selalu terlihat sungguh-sungguh. Setelah itu kau akan kembali bersikap dingin padaku. Aku kembali teringat seseorang yang memiliki sifat sepertinya. Orang yang benar-benar aku cintai. Kang Hae Bum. Namanya selalu berhasil membuat dadaku sesak. Dengan cepat aku menghapus air mataku saat terdengar pintu kamarku terbuka. Aku menghela napas.
“Ini, makanlah,” dia meletakkan semangkuk bubur di meja tepat di samping ranjangku.
Karena aku hanya diam, dia mengambil mangkuk bubur ityu dan bersiap menyuapiku. Aku mencegahnya.
“Biar aku saja.”
Dia mengangguk dan menukar gelas cokelatku dengan mangkuk bubur. Setelah satu suapan, aku hanya diam.
“Kenapa? Apa rasanya aneh? Akan kubuatkan lagi.”
“Anni,” cegahku sebelum dia benar-benar membuatnya lagi. “Ini enak,” aku tersenyum.
Dia kembali duduk di tapi ranjang saat aku mulai memakannya.
“Ini, minumlah. Aku tahu tubuhmu tak tahan dengan air hujan,” dia membuatku meminum obat.
Dia menyelimutiku dan mengusap keningku.
“Astaga! Kau demam? Aku ambilkan kompres, kau diamlah.”
Apa yang tadi itu benar-benar dia? wajahnya terlihat begitu cemas. Apa dia mencemaskanku? Dong Jo kembali dengan mangkuk besar berisi es. Dengan telaten dia membasahi handuk itu di keningku. Tak terasa air mataku menetes di ujung peupuk mataku. Dong Jo mengusapnya.
“Apa kau sakit, Jae In-a?” tanyanya dengan wajah cemas.
Aku hanya menggeleng.
“Air mataku selalu keluar saat demam.”
“Begitu?” dia menatapkan dalam diam.
Sesekali dia mengganti kompresku dan menghapus air mataku yang tak dapat kuhentikan.
“Boleh aku tidur di sini menemanimu, besok aku libur,” dia mengatakan itu dengan hati-hati.
Aku mengangguk lemah. Dia tersenyum dan menggenggam tanganku, mengalirkan suhu hangat pada tanganku yang dingin. Dong Jo-a...
...
Aku merasa perutku tertindih sesuatu. Kubuka mataku perlahan karena rasa kantuk masih sangat menguasaiku. Mataku melebar saat melihat sebuah tangan kekar memelukku. Kulihat orang yang benar-benar kukenal tertidur pulas dengan posisi memelukku dari samping. Napasnya beraturan, wajahnya terlihat sangat teduh saat tertidur. Perlahan aku membalikkan tubuhku menghadapnya. Aku berhenti saat tubuhnya bergerak, aku tak ingin membuatnya terbangun. Kulepaskan kompres yang menempel di keningku. Kutatap setiap inchi lekuk wajahnya. Tampan. Kenapa aku tak pernah menyadarinya? Seulas senyum melengkung di bibirku.
...
Suara berisik dari luar kamar membuatku terbangun. Sebelum duduk aku melihat ke samping kiriku. Tidak ada, apa semalam hanya mimpi? Aku menghela napas dan memijit keningku yang terasa pusing.
Mataku tak bisa berkedip saat melihat meja makan yang sudah penuh dengan makanan. Aku melangkah menuju dapur. Namun sebelum aku sampai, aku melihat Dong Jo menghentikan langkahnya dengan membawa mangkuk besar yang mengepul. Dia terlihat kikuk saat mataku menatap celemek yang biasa kugunakan menempel ditubuhnya.
“Eem... kau sudah bangun?” tanyanya basa basi sambil melepas celemeknya.
Aku masih menatapnya heran.
“Bersihkan wajahmu, kita makan bersama.”
Aku hanya mengangguk dan mematuhi apa yang dia katakan. Walau ada banyak pertanyaan di benakku, aku memilih diam dan menikmati sarapan. Tidak buruk.
“Enak, apa kau mengikuti kelas memasak?”
Aku memberikan air putihku karena Dong Jo tersedak saat mendengar kalimat terakhirku.
“Gwenchanha?” tanyaku cemas karena dia masih saja terbatuk-batuk.
Dong Jo mengangguk lalu melanjutkan makan.
“Aku sungguh-sungguh, ini enak,” aku tersenyum di akhir kalimatku.
Dia terlihat canggung.
“Kau suka?”
Aku mengangguk dengan mulut penuh. Setelah itu dia bersikap seperti biasa. Kamu menikmati sarapan kami.
“Hari ini kau bekerja?” tanyanya ketika kami membenahi piring.
“Tentu saja.”
“Aku antar ya?”
Apa? Apa aku tak salah dengar?
“Kau tidak mau?” terlihat kekecewaan di matanya.
“Kau tidak turun pangkat kan Dong Jo-ssi?”
Dia menatapku dengan matanya yang membulat.
“Tentu saja tidak,” jawabnya dengan nada kesal. Aku terkekeh.
“Baiklah, tapi biar aku yang menyetir. Aku tak ingin mati.”
Aku meninggalkannya setelah mengatakann itu.
Perasaan apa ini? apa aku bahagia? Aku menatap pantulan diriku di cermin, aku tersenyum tadi.
...
Aku melihat Dong Jo sudah berdiri di samping mobil dengan senyuman lebar di wajahnya. Aku mencoba mengingat apa ini hari ulang tahunnya? Bukan, seingatku bukan di bulan ini.
“Silakan, Jae In agasshi,” ujarnya membukakan pintu mobil dengan senyuuman yang masih saja tercetak  di sana.
Aku melewatinya dan membuka pintu kemudi.
“Anni, kau duduk di sini!” dia menarikku dengan cepat dan mendudukkanku di kursi sebelah kemudi.
“Kau mau membuat kita mati?” ujarku saat dia sudah duduk dan memasangkan sabuk pengamanku.
“Kau diam saja, kita akan sampai tepat waktu.”
Tanpa banyak bicara lagi, aku memutuskan untuk menuruti apa yang dia katakan. Aku akui kemampuan mengemudinya sudah membaik walau tadi aku harus menahan napas karena hampir saja menabrak mobil lain. Dia mengemudikan mobil dengan konsentrasi penuh. Walau sangat pelan tapi aku tahu dia melakukan ini untuk keselamatan kami.
“Cha, kita sudah sampai,” ucapnya membuyarkan lamunanku.
“Yaa! Apa kau menatapku sejak tadi?”
Aku mendengus mendengarnya. Dia tersenyum geli. Saat dia hendak turun dari mobil, aku menahan tangannya. Dia menatapku.
“Gomawo.”
Alisnya terangkat.
“Karena membawaku dengan selamat.”
Dia mengerucutkan bibirnya. Melihat ekspresinya aku tertawa.
kini semua orang menatap kami. Sesekali kami harus membalas senyuman dan anggukan mereka. Dong Jo menggandengku sejak keluar dari mobil. Awalnya aku menolaknya saat dia meminta mengantarku sampai ke ruanganku. Tapi karena banyak yang memperhatikan kami, aku terpaksa mengiyakan tawarannya.
“Dong Jo-ssi...” panggilku saat sudah di depan ruanganku.
“Mwo?”
“Kau benar tidak turun pangkat? Atau kau dipecat?” tanyaku dengan sedikit berbisik. Pertanyaan itu membuatnya menatapku tajam.
“Terserah kau saja.”
Dia pergi begitu saja.
“Yaa! Dong Jo-ssi!!” dia hanya melambaikan tangannya tanpa berbalik.
...
Aku melangkah dengan cepat saat menerima telepon Dong Jo, dia mengatakan sudah ada di depan gedung. Benar saja, saat aku keluar lift aku melihatnya berdiri di lobby.
“Kenapa lama sekali changi-a?” ujarnya saat melihatku.
“Aku tidak memintamu menjemputku.”
Dia menyenggol sikutku dan menatapku tajam. Apa? Ah iya, ini di kantor bukan? Aku memaksakan seulas senyum dan meminta maaf padanya. Kami keluar dari lobby dan berjalan menuju mobil.
“Kau yakin akan menyetir?” tanyaku saat dia membukakan pintu untukku. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Setelah menutup pintu dia berputar dan membuka pintu untuknya sendiri.
Dalam perjalanan kami hanya diam. Aku melihatnya yang kembali menjadi Han Dong Jo. Sosok dingin yang selalu mengingatkanku pada Hae Bum. Aku menyandarkan kepalaku saat tersadar telah mengingatnya kembali.
“Apa kau lelah?” tanya Dong jo masih fokus pada jalan di depannya.
“Tidak.”
“Kalau begitu, kita pergi saja. Ini masih sore kan?”
Aku menoleh padanya. Dia bahkan mengatakan itu dengan nada yang terlampau datar.
“Ige...” gumamku saat Dong Jo membawaku ke taman bermain.
Aku menatapnya. Dia tersenyum dan mengedikkan bahunya. Dari mana dia tahu aku ingin sekali ke tempat ini di malam hari.
“Kita masuk atau kau ingin berdiri saja di sini?”
Kami menghabiskan waktu di Lotte World. Hampir semua wahana kami naiki. Saat harus menunggu antrian, kami akan berfoto.. entah itu aku yang mengambil gambar Dong Jo atau sebaliknya. Dan tak jarang Dong Jo meminta pengunjung lain memotret kami.
“Kita naik itu!” tunjukku pada jetcoaster yang sedang meliuk-liuk di rel udara, membuat semua orang di dalamnya menjerit histeris.
Saat kusadari tak ada respon dari Dong Jo, aku menoleh ke belakang. Aku melihat wajahnya yang pucat sedang menatap jetcoaster itu.
“Dong Jo-ssi...” aku menyentuh pundaknya, dia tersadar dari lamunannya.
“Eoh, kau mengatakan sesuatu?” tanyanya seperti menyembunyikan rasa takut.
Aku menautkan alisku.
“Kita naik itu ya?” tanyaku lagi.
“Aku sudah lelah, apa kau tidak lelah, Jae In-a?”
Aku mengembungkan pipiku. Dia menghela napas lelah.
“Baiklah, hanya satu kali lagi. Tapi jangan jetcoaster.”
Aku tersenyum senang mendengarnya.
“Kenapa ice skating?” aku tak tahu apakah ini efek masakannya tadi pagi atau karena efek menyetir, hari ini dia banyak protes dan bicara.
“Bukankah jetcoaster tidak mau, setidaknya ice skating amankan?”
Aku sudah berjalan meluncur ke tengah sedangkan Dong Jo masih memegangi tiang di tepi ice area. Dia berkali menggeleng saat aku mengisyaratkan agar dia bergerak. Mau tak mau aku mendekatinya.
“Wae?” tanyaku.
“Kau lupa aku tidak bisa meluncur di atas es?” ucapnya dengan nada kesal.
Aku tersenyum senang.
“Aku tahu, makanya setelah ini kau harus bisa.”
Aku menarik tangannya dan membantunya menjaga keseimbangan.
“Jangan lepaskan tanganmu,” pintanya dengan langkah hati-hati.
“Bagaimana bisa aku menikahi pria yang payah dalam menyetir dan meluncur di atas es,” aku berdecak dengan terus membantunya berjalan.
“Yaa! Buka kakimu lebih lebar lagi.”
“Seperti ini?” dia membuka kakinya.
“Ya, sekarang ikuti aku.”
Aku berdiri menghadapnya dengan memegang kedua tangannya.
“Ya, seperti itu, kiri... kanan... saat akan mengerem lakukan seperti kau akan berbelok. Seperti ini...” dia mengikuti instruksi dengan baik.
“Jangan lepas... Yaa!!”
Aku mulai melepasnya dan menjauh darinya.
“Ayo bergerak!” teriakku berdiri tak jauh darinya. Perlahan dia mulai menggerakkan kakinya. Aku tersenyum saat melihatnya tersenyum lebar. Dia meluncur mendekatiku.
“Aku bisa, Yaa! Jae In-a, kau lihat?” dia tertawa sambil meluncur mengelilingiku. Mau tak mau akupun tertawa. Dia menggandeng tanganku dan kami meluncur bersama. Aku akui dia belajar dengan cepat. Sesekali dia menantangku untuk mengejarnya. Tentu saja aku yang lebih mahir mudah sekali mengejarnya. Saat mencoba mengejarku, Dong Jo meluncur terlalu cepat dan tak bisa mengendalikannya. Sebelum aku berhasil menanganinya, dia menabrakku dan kami jatuh. Aku jatuh tepat di atas tubuhnya. aku baru akan bangun saat dia menahanku. Matanya menatapku intens, tak pernah aku melihat tatapannya seperti ini. dia tak berkedip sama sekali.
Deg! Apa ini? tiba-tiba jantungku berdebar. Aku tak pernah merasakannya jika bukan karena Hae Bum. Kami diam dalam waktu yang lama.  Aku mencoba mengatur detak jantungku. Aku tersadar saat mendengar teriakan seseorang.
“Ah, ayo aku bantu,” aku mengulurkan tanganku membantunya berdiri.
Tak ada respon apapun darinya.
“Sebaiknya kita pulang,” putusku lalu berjalan mendahuluinya.
Selama di dalam mobil, dia hanya diam tanpa berkata apapun. Kali ini aku yang mengemudi. Melihat keadaannya aku menjadi khawatir. Apa efek jatuh tadi separah itu.
“Dong Jo-a, are you ok?” tanyaku hati-hati.
Dia menatapku dan tersenyum datar lalu mengangguk.
“Aku masih ingin di luar.”
Aku menoleh ke arahnya. Dia menatapku lurus. Sebelum aku tak bisa pergi dari kuncian matanya, aku kembali fokus pada kemudiku.
“Lalu?” tanyaku singkat.
“Kita ke sungai Han saja.”
Aku mengangguk mengiyakan tawaranya.
Saat sampai di sungai Han, Dong Jo berjalan di depanku lalu duduk di kursi panjang tepat di bawah pohon. Aku duduk di sampingnya. Lama kami terdiam, hanya sibuk dengan pikiran masing-masing. lalu aku menoleh karena Dong Jo memutar bahuku agar menghadapnya.
“Jae In-a,” dia mulai memanggil namaku.
“Hmm.”
Dong Jo menghela napas pelan.
“Aku ingin hidup dengan tanpa sandiwara lagi...”
Mataku melebar mendengarnya. Dong Jo menggenggam tanganku.
“Aku tahu kau masih mencintai Kang Hae Bum.”
Tulang rusukku menusuk tepat di jantungku saat dia mengatakan itu. Tapi itu sama sekali membuatku berdebar seperti yang biasa kurasakan saat seseorang menyebut namanya.
“Tidak masalah, aku akan membantumu mencntaiku.”
Dong Jo-a...
“Wae?”
“Karena aku mencintaimu,” ucapnya lemah.
Aku menatap matanya. Apa ini benar? Matanya begitu teduh menatapku.
“Aku mencintaimu...” ualangnya sekali lagi.
Aku tak bisa berkata apapun. Ini terlalu mendadak.
“Apa semua itu untuk ini?”
Bodoh! Apa yang aku pikirkan? Bukankah seharusnya aku bahagia karena hari ini dia membuatku tertawa lebih banyak?
“Jae In-a...”
“Sebaiknya kita pulang,” aku baru akan berdiri tapi Dong Jo menahanku.
“Maafkan aku karena menikahimu.”
Aku menatapnya tak percaya. Apa yang dia katakan?
“Aku tak bisa melihatnya menangis terlalu lama. Aku ingin membuatmu melupakannya dan bahagia bersamaku. Tapi ternyata aku tak bisa melakukannya,” dia tertawa getir.
“Kau pernah melihatku menangis?” akhirnya aku bisa membuka mulutku.
Dia tersenyum.
“Aku pelanggan tetap perpustakaan umum, aku selalu melihatmu meminjam buku apapun tanpa melihat judulnya. Setelah itu kau akan duduk di tempat paling jauh dari pintu dan terhalang rak buku. Dan di sanalah kau selalu menangis.”
Itu yang aku lakukan tiga tahun sebelim aku menikah dengannya.
“Kau tidak ingat aku? Kita pernah berkali bertemu di kedai kopi dan berebut pesanan yang sebenarnya itu pesananku.”
Aku mencoba mengingatnya. Itu kejadian dua tahun lalu, kenapa dia mengingatnya dengan baik?
“Dan saat di toko buku. Kau ingat pemuda bertopi dengan topi baseball dan kacamata besarnya?” tanya Dong Jo dengan tangannya masih menggenggam tanganku. Aku memutar otakku, berusaha mengingat apa yang Dong Jo ucapkan.
“Kau masih tidak ingat? Dompetnya tertinggal dan kau yang membayar tagihan bukunya,” ujar Dong Jo.
“Apa itu kau?” Dong Jo mengangguk.
“Dan saat di Cheonan, kau menyiramiku dengan tidak sengaja saat aku lewat di depan rumahmu.”
Cheonan? Itu...
“Apa kau Dong Jo tetangga baruku?”
Dong Jo tersenyum lebar saat aku mengatakannya. Dia menarikku dalam pelukannya.
“Kau mengingatnya?”
Aku mengangguk pelan.
“Kenapa kau menyukaiku?” tanyaku dalam pelukannya.
Dong Jo tidak menjawab.
“Dong Jo-ssi...” dia melepaskan pelukannya.
“Awalnya hanya rasa suka, aku bahkan hampir frustasi karena orang tuaku bersikeras menjodohkanku.”
Aku mendengar ceritanya dengan penuh minat.
“Tapi begitu melihatmu duduk bersama orang tuamu saat undangan makan malam, aku sangat bahagia.”
Dia tersenyum menatapku.
“Tapi, ternyata itu tidak semudah yang kukira. Kau ingat, aku yang memutuskan agar kita tidur di kamar yang berbeda.”
Aku menatapnya, Dong Jo tersenyum tipis.
“Aku merasa kau tidak siap dengan semua ini. setiap malam aku selalu mendengarmu mengigau saat aku masuk kamarmu. Dan nama Kang Hae Bum lah yang sering kau sebutkan. Itu kenapa aku mengetahuinya. Nama pria yang selama ini membuatmu menangis di perpustakaan.”
Tersirat kepedihan di matanya.
“Dong Jo-a...”
“Aku hanya ingin mengatakan itu.”
Dia mengambil napas dalam lalu kembali tersenyum padaku. Aku memaksakan seulas senyum untuknya.
“Sudah waktunya!” teriak Dong Jo.
Dan sedetik kemudian aku mendengar letupan dan desiran keras di langit. Mataku membulat saat melihat bunga-bunga cahaya berwarna-warni di langit. Aku berdiri dan menatap kembang api yang menghiasi langit sungai Han. Aku menunduk saat tiba-tiba rasa dingin menyentuh leherku.
“Happy birthday Jae In-a...” bisik Dong Jo setelah memakaikan sebuah kalung di leherku.
Aku memutar tubuhku untuk melihatnya. Apa yang harus kulakukan? Aku tak bisa tersenyum atau menangis. Saat melihatnya tersenyum air mataku menetes. Senyumnya semakin lebar saat aku berusaha menahan air mataku. Dia meraih bahuku dan menarikku dalam pelukannya.
“Itu tandanya kau berterima kasih, kan?” ujarnya diselingi tawa ringan.
Aku hanya mengangguk.
“Dari mana kau tahu besok hari ulang tahunku?”
“Jangan bodoh. Tentu saja karena aku mencintaimu, aku tahu semuanya. Aku diam bukan berarti aku tak tahu apa-apa, Jae In-a.”
Aku membalas pelukannyakali ini. aku tak pernah merasakan hal seperti ini, bahkan saat Hae Bum melakukannya untukku. Aku masih mendengar letupan kembang api di langit.
“Jae In-a...”
“Hmm...”
“Jangan memikirkan pria lain, aku mohon.”
Aku tersenyum mendengarnya. Akan kulakukan.
“Apa sekarang kita bisa pulang?”
Dong Jo melirik arlojinya.
“Biar aku yang menyetir,” putusnya.
“Shireo (tidak mau). Ini sudah malam, aku tak mau mati di malam hari,” tolakku mengambil kunci mobil dari saku jasku.
Dong Jo merebutnya dan berjalan meninggalkanku.
“Yaa! Dong Jo-a!” aku berteriak mengejarnya.
“Panggil aku changi baru aku izinkan kau menyetir,” ujarnya dengan senyum kemenangan.
Isskkhh apa boleh buat.
“Changia biar aku yang menyetir ya, kau duduk saja.”
Dong Jo tertawa.
“Kau tak perlu membuuat wajahmu jadi innocent begitu.”
Dia masih saja tertawa, aku mengambil kesempatan untuk merebut kunci darinya. Alih alih berhasil, dia malah memelukku (lagi). Apa dia harus melakukannya berulang kali? Aku menjauhkan kepalaku saat wajahnya mendekat. Wajahnya semakin dekat, aku bisa merasakan napasnya yang hangat menyapu wajahku. Aku memejamkan mataku rapat-rapat ketika jarak di antara kita menipis.
“Saranghar Dong Jo-a!” ucapku cepat untuk menghentikannya.
Aku masih memejamkan mataku. Tidak terjadi apapun. Lalu aku merasakan dia mengecup keningku pelan. Aku menatap matanya dengan napasku yang masih sedikit tersenggal. Dia tersenyum lembut.
“Gomawo changia...”
...
“Begitulah akhir cerita mereka,” ucapku mengakhiri cerita pada Soon Hee.
“Hanya begitu saja, Eomma? Apa mereka hidup bahagia?” tanya Soon Hee.
Aku tersenyum dan mengangguk.
“Jinjja?” (sungguh).
Aku kembali mengangguk .
“Bahkan mereka mempunya dua putri yang sangat manis,” tambahku.
Soon Hee mengangguk. Dia menaikkan sebelah alisnya.
“Chakkaman, Kwon Jae In dan Han Dong Jo?” tanya Soon Hee dengan mata membulat.
Aku mulai tersenyum menatap putri keduaku.
“Eomma, apa mereka itu eomma dan appa?”
Aku kembali tersenyum dan memeluk Soon Hee.
“Benar, Eomma?”
Aku mengangguk. Soon Hee menjerit keras dan melepaskan pelukanku.
“Yaa! Tak bisa kah kau tenang? Aku sedang mengerjakan tugas!” ujar Song Mi yang muncul tiba-tiba di balik pintu kamar Soon Hee.
“Eonni sudah dengar kisah eomma dan appa? aku baru tahu kalau ternyata mereka dijodohkan,” ujar Soon Hee antusias.
Song Mi duduk di tepi ranjang Soon Hee.
“Tentu saja aku tahu.” Jawaban Song Mi membuatku menatapnya.
“Appa yang bercerita padaku,” Song Mi tersenyum menatapku.
Kami bertiga bangun saat mendengar teriakan orang yang sangat kami sayangi dari luar kamar.
“Appa!” Soon Hee berlari ke pelukan Dong Jo dan tentu saja Dong Jo menggendongnya.
“Apa putri Appa sudah belajar?” tanya Dong Jo pada Soon Hee. Ia pun menggangguk.
Aku dan Song Mi terbelalak saat Soon Hee tiba-tiba mengecup kening Dong Jo.
“Saranghar Appa...” kami bertiga tertawa kecuali Soon Hee.
Inilah keluarga kecilku. Aku memiliki suami yang sangat mencintaiku. Soon Hee yang selalu ingin tahu dan menggemaskan, serta putri pertamaku yang sebentar lagi akan pergi ke Jepang. Percayalah bahwa cinta tak pernah datang saat kita siap, tapi dia akan datang saat kita membutuhkannya.

FIN.